BAB 1
PENDAHULUAN
A.LATAR BELAKANG
Perkembangan yang pesat dari ilmu pengetahuan khususnya perkembangan teknologi informasi berupa makin luasnya pemakaian internet, telah banyak mengubah kehidupan masyarakat dunia. Transaksi internasional yang mencakup barang, jasa dan modal cenderung berorientasi global, dimana batas-batas suatu negara semakin kabur dan dengan sarana internet perdagangan dapat berlangsung tanpa batas. Hal ini membuat arus barang, jasa maupun modal akan masuk dan atau keluar dari suatu Negara tanpa hambatan.
Kegiatan perdagangan lintas Negara membuat pertumbuhan perusahaan multinasional makin pesat. Perusahaan multinasional tersebut, di luar negara tempat kedudukannya mengoperasikan cabang atau anak perusahaan. Pendirian anak perusahaan di berbagai negara merupakan strategi bisnis perusahaan untuk memenangkan persaingan seperti mempertahankan dan mengembangkan pangsa pasar, menguasai sumber-sumber daya yang relatif terbatas.
Dalam perusahaan multinasional tersebut, hampir sebagian besar transaksi dan aktivitas ekonomi terjadi antar mereka, seperti transaksi penjualan, pembelian bahan baku, pemberian jasa, penggunaan hak kekayaan intelektual, pemberian pinjaman dan sebagainya.
Keberhasilan operasi-operasi bisnis di luar negeri sangat berkaitan dengan kemampuan untuk beradaptasi dengan faktor-faktor lingkungan yang sangat banyak jumlahnya. Salah satu mekanisme yang digunakan oleh perusahaan multinasional untuk beradaptasi adalah teknik pricing atas sumber daya, jasa dan teknologi yang ditransfer dari satu perusahaan anak ke perusahaan anak yang lain dalam sistem multinasional.
Transfer pricing bervariasi dari suatu perusahaan ke perusahaan lain, industri ke industri dan negara ke negara. Transfer pricing dapat mempengaruhi hubungan-hubungan sosial, ekonomi, dan politik dalam entitas-entitas bisnis multinasional. Transaksi-transaksi yang terjadi antar negara juga mengakibatkan perusahaan-perusahaan multinasional menerima banyak pengaruh dari lingkungan yang menciptakan sekaligus mengurangi kesempatan-kesempatan untuk meningkatkan laba perusahaan melalui penyesuaian-penyesuaian harga internal. Faktor-faktor seperti perbedaan tarif pajak, tarif impor, persaingan, laju inflasi, nilai valuta asing, resiko-resiko politik, kepentingan-kepentingan mitra usaha patungan membuat keputusan-keputusan transfer pricing semakin rumit. Dan pada akhirnya keputusan tentang transfer pricing umumnya menimbulkan trade-off yang kadang-kadang tidak terduga dan mungkin jarang bisa dijelaskan.
Sebagaimana disebutkan di atas, salah satu faktor yang membuat keputusan transfer pricing semakin rumit adalah perbedaan tarif pajak antar negara. Transfer pricing dapat membuat potensi penerimaan pajak suatu negara berkurang atau hilang. Perusahaan multinasional memiliki kecenderungan untuk menggeser kewajiban perpajakannya dari negara-negara yang memiliki tarif pajak yang tinggi ke negara-negara yang menetapkan tarif pajak rendah. Sehingga dengan demikian terjadi pergeseran dasar pengenaan pajak dari satu negara ke negara lainnya.
Hal inilah yang membuat masalah transfer pricing menjadi masalah internasional karena banyak negara yang memiliki kepentingan, terutama bagi negara berkembang seperti Indonesia yang dalam transaksi yang mengandung transfer pricing menjadi negara sumber penghasilan.Transfer pricing dapat menimbulkan distorsi penerimaan negara.
Atas dasar buah pemikiran di atas maka kami membuat makalah dengan judul
“IDENTIFIKASI MOTIVASI DAN PERLAKUAN PERPAJAKAN ATAS TRANSAKSI TRANSFER PRICING YANG TERJADI DI PERUSAHAAN-PERUSAHAAN MULTINASIONAL DI INDONESIA.”
B.RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas,maka masalah dalam kasus makalah ini adalah:
Ø Apa motivasi perusahaan multi nasional melakukan transfer price?
Ø Apa yang mesti di lakukan terhadap transfer price yang di lakukan oleh perusahaan multi nasional?
C.TUJUAN PENULISAN
Dari perumusan masalah di atas,maka tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk:
Ø Mengetahui motivasi perusahaan multi nasional dalam melakukan transfer price
Ø Mengetahui perlakuan perpajakan terhadap transfer price yang di lakukan tersebut
D.MANFAAT PENELITIAN
Adapun manfaat yang di harapkan dari hasil penulisan makalah ini adalah:
Ø Memberikan informasi tentang motivasi perusahaan multi nasional dalam melakukan transfer price
Ø Memberikan informasi tentang perlakuan perpajakan terhadap transfer price yang di lakukan tersebut
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
1. Definisi Transfer Price(Harga Transfer)
Beberapa definisi mengenai transfer pricing atau transfer price yang diutarakan beberapa ahli antara lain adalah :
- Menurut Tsurumi dalam Gunadi ( 1997 ), dalam suatu grup perusahaan, transfer pricing merupakan harga yang diperhitungkan untuk pengendalian manajemen (management control ) atas transfer barang dan jasa dalam satu grup perusahaan.
- Menurut Charles T.Horngren, George Foster dan Srikant Datar dalam Akuntansi Biaya, harga transfer merupakan harga yang dikenakan oleh satu subunit (segmen, departemen, divisi dan sebagainya ) untuk produk atau jasa yang dipasok ke subunit lain dalam organisasi yang sama.
- Menurut Ralph Estes dalam Kamus Akuntansi, harga transfer adalah suatu harga internal yang dibebankan oleh satu unit ( seperti divisi, perusahaan anak, atau departemen ) dari suatu perusahaan pada unit lainnya dalam perusahaan yang sama.
- Menurut Don R.Hansen dan Maryanne M.Moven dalam Management Accounting, harga transfer adalah harga yang ditagihkan untuk barang yang ditransfer dari satu divisi ke divisi lainnya.
- Menurut Sophar Lumbantoruan, harga transfer adalah penentuan harga atau balas jasa atas suatu transaksi antar unit dalam satu perusahaan atau antar perusahaan dalam satu grup.
Dari berbagai definisi di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa pada prinsipnya transfer pricing adalah suatu metode penentuan harga antar perusahaan dalam satu grup yang sama.
Berikut adalah scenario dari transfer price
2.metode transfer price
Menurut Charles T.Horngren, George Foster dan Srikant Datar, ada tiga metode umum untuk menentukan harga transfer yaitu
- Harga transfer berdasarkan pasar
Perusahaan dapat memilih untuk menggunakan harga dari produk atau jasa sejenis yang tercantum dalam, katakanlah jurnal perdagangan. Perusahaan juga dapat memilih harga internalnya sama dengan harga eksternal yang dikenakan terhadap konsumen luar.
- Harga transfer berdasarkan biaya
Contoh-contoh meliputi biaya variabel produksi, biaya produksi penuh dan biaya produk penuh. Biaya produksi penuh meliputi semua biaya produksi termasuk biaya dari fungsi usaha ( riset dan pengembangan, desain, pemasaran, distribusi, dan pelayanan konsumen ). Biaya-biaya tersebut dapat merupakan biaya aktual maupun biaya yang dianggarkan.
- .Harga transfer hasil negosiasi
Dalam beberapa kasus, subunit perusahaan bebas untuk menegosiasikan harga transfer antar mereka. Subunit dapat menggunakan informasi mengenai biaya dan harga pasar dalam negosiasi, tetapi tidak ada persyaratan bahwa harga transfer yang dipilih harus mempunyai hubungan tertentu ke biaya atau harga pasar. Harga transfer hasil negosiasi tersebut sering digunakan ketika harga transfer berfluktuasi dan terus berubah. Harga transfer hasil negosiasi merupakan hasil dari proses tawar-menawar antara divisi penjual dan divisi pembeli.
Sedangkan menurut Don R.Hansen dan Maryanne M.Moven, tiga metode yang lazim digunakan dalam penetapan harga transfer adalah :
- Harga transfer berdasarkan harga pasar
Apabila terdapat pasar luar dengan persaingan sempurna untuk produk yang ditransfer, maka harga transfer yang sesuai adalah harga pasar. Dengan harga pasar tidak ada divisi yang memperoleh manfaat di atas beban divisi lain. Dalam hal ini, harga pasar mencerminkan biaya kesempatan ( opportunity cost) divisi penjual dan divisi pembeli
- Harga transfer yang dinegosiasikan
Dalam banyak kasus, pembeli atau penjual mampu mempengaruhi harga sampai derajat tertentu ( sebagai contoh melalui jumlah yang besar atau melalui penjualan produk yang erat kaitannya tetapi berbeda, atau melalui penjualan produk yang unik ). Apabila tidak terdapat pasar dengan persaingan sempurna, harga transfer yang dinegosiasikan adalah pilihan yang baik. Dalam hal ini, biaya kesempatan divisi penjual dan divisi pembeli berbeda, dan mereka menetapkan harga batas atas dan batas bawah untuk harga transfer. Harga transfer yang dinegosiasi menawarkan harapan untuk melengkapi ketiga kriteria kesesuaian tujuan, otonomi dan akurasi evaluasi kinerja.
- Harga transfer berdasarkan biaya
Penggunaan harga transfer berdasarkan biaya tidak lazim direkomendasikan, tetapi, apabila transfer menimbulkan dampak yang kecil terhadap profitabilitas kedua divisi, pendekatan ini dapat diterima. Perusahaan yang menggunakan penetapan harga transfer berdasarkan biaya mensyaratkan bahwa seluruh transfer berlangsung pada suatu bentuk biaya. Tiga bentuk dari penetapan harga transfer berdasarkan biaya yang akan dipertimbangkan adalah :
Full cost
Full cost meliputi direct materials, direct labor, variable overhead dan bagian dari fixed overhead. Penetapan harga transfer full cost dapat merusak insentif dan mengganggu ukuran-ukuran kinerja dan akan menutup kemungkinan pemberlakuan harga transfer yang dinegosiasikan.
Full cost plus markup
Rumusan full cost plus markup mungkin dapat digunakan untuk menggambarkan harga transfer yang dinegosiasi. Dalam beberapa kasus, suatu rumusan full cost plus markup mungkin menjadi hasil dari negosiasi, bila demikian, cara ini hanyalah sebuah contoh lain dari penetapan harga transfer yang dinegosiasi. Tetapi, penggunaan full cost plus markup untuk mewakili semua harga negosiasi adalah tidak mungkin.
Variable cost plus fixed fee
Seperti full cost plus markup, variable cost plus fixed fee merupakan pendekatan yang dapat digunakan dalam penetapan harga transfer, dengan tingkat fixed fee dapat dinegosiasikan. Metode ini memiliki satu keunggulan dibandingkan full cost plus markup yaitu apabila divisi penjual sedang beroperasi di bawah kapasitas, maka variable cost adalah opportunity cost-nya. Dengan mengasumsikan bahwa fixed fee dapat dinegosiasikan, pendekatan variable cost adalah sama dengan penetapan harga transfer yang dinegosiasi.
PERATURAN PERPAJAKAN TENTANG HUBUNGAN ISTIMEWA DAN TRANSFER PRICING
Pasal 10 ayat 1 Undang-undang No.17 Tahun 2000 Tentang Pajak Penghasilan
Pasal 10 ayat 1 berbunyi :
”Harga perolehan atau harga penjualan dalam hal terjadi jual beli harta yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) adalah jumlah yang sesungguhnya dikeluarkan atau diterima, sedangkan apabila terdapat hubungan istimewa adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima.”
Penjelasan :
Pada umumnya dalam jual beli harta, harga perolehan harta bagi pihak pembeli adalah harga yang sesungguhnya dibayar dan harga penjualan bagi pihak penjual adalah harga yang sesungguhnya diterima. Termasuk dalam harga perolehan adalah harga beli dan biaya yang dikeluarkan dalam rangka memperoleh harta tersebut, seperti bea masuk, biaya pengangkutan dan biaya pemasangan.
Dalam hal jual beli yang dipengaruhi hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4), maka bagi pihak pembeli nilai perolehannya adalah jumlah yang seharusnya dibayar dan bagi pihak penjual nilai penjualannya adalah jumlah yang seharusnya diterima. Adanya hubungan istimewa antara pembeli dan penjual dapat menyebabkan harga perolehan menjadi lebih besar atau lebih kecil dibandingkan dengan jika jual beli tersebut tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa. Oleh karena itu dalam ketentuan ini diatur bahwa nilai perolehan atau nilai penjualan harta bagi pihak-pihak yang bersangkutan adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau yang seharusnya diterima.
Pasal 18 ayat 3 Undang-undang No.17 Tahun 2000 Tentang Pajak Penghasilan
Pasal 18 ayat 3 berbunyi :
”Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa.”
Penjelasan :
Maksud diadakannya ketentuan ini adalah untuk mencegah terjadinya penghindaran pajak, yang dapat terjadi karena adanya hubungan istimewa. Apabila terdapat hubungan istimewa, kemungkinan dapat terjadi penghasilan dilaporkan kurang dari semestinya ataupun pembebanan biaya melebihi dari yang seharusnya. Dalam hal demikian, Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan atau biaya sesuai dengan keadaan seandainya di antara para Wajib Pajak tersebut tidak terdapat hubungan istimewa. Dalam menentukan kembali jumlah penghasilan dan atau biaya tersebut dapat dipakai beberapa pendekatan, misalnya data pembanding, alokasi laba berdasar fungsi atau peran serta dari Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa dan indikasi serta data lainnya.
Demikian pula kemungkinan terdapat penyertaan modal secara terselubung dengan menyatakan penyetoran modal tersebut sebagai utang, maka Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan utang tersebut sebagai modal perusahaan. Penentuan tersebut dapat dilakukan misalnya melalui indikasi mengenai perbandingan antara modal dengan utang yang lazim terjadi antara para pihak yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa atau berdasar data atau indikasi lainnya.
Dengan demikian bunga yang dibayarkan sehubungan dengan utang yang dianggap sebagai penyertaan modal itu tidak diperbolehkan untuk dikurangkan, sedangkan bagi pemegang saham yang menerima atau memperolehnya dianggap sebagai dividen yang dikenakan pajak
Pasal 18 ayat 3A Undang-undang No.17 Tahun 2000 Tentang Pajak Penghasilan
Pasal 18 ayat 3A berbunyi :
”Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan perjanjian dengan Wajib Pajak dan bekerja sama dengan pihak otoritas pajak negara lain untuk menentukan harga transaksi antar pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (4), yang berlaku selama suatu periode tertentu dan mengawasi pelaksanaannya serta melakukan renegosiasi setelah periode tertentu tersebut berakhir.”
Penjelasan :
Kesepakatan harga transfer ( Advance Pricing Agreement/APA ) adalah kesepakatan antara Wajib Pajak dengan Direktur Jenderal Pajak mengenai harga jual wajar produk yang dihasilkannya kepada pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa (related parties ) dengannya. Tujuan diadakannya APA adalah untuk mengurangi terjadinya praktik penyalahgunaan transfer pricing oleh perusahaan multinasional. Persetujuan antara Wajib Pajak dengan Direktur Jenderal Pajak tersebut dapat mencakup beberapa hal antara lain harga jual produk yang dihasilkan, jumlah royalti dan lain-lain, tergantung pada kesepakatan.
APA dapat bersifat unilateral, yaitu merupakan kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak dengan Wajib Pajak atau bilateral, yaitu kesepakatan antara Direktur Jenderal Pajak dengan otoritas perpajakan negara lain yang menyangkut Wajib Pajak yang berada di wilayah yurisdiksinya.
Pasal 18 ayat 4 Undang-undang No.17 Tahun 2000 Tentang Pajak Penghasilan
Pasal 18 ayat 4 berbunyi :
”Hubungan istimewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) dan ayat (3a), Pasal 8 ayat (4), Pasal 9 ayat (1) huruf f, dan Pasal 10 ayat (1) dianggap ada apabila :
- Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal langsung atau tidak langsung paling rendah 25% ( dua puluh lima persen ) pada Wajib Pajak lain, atau hubungan antara Wajib Pajak dengan penyertaan paling rendah 25% (dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih, demikian pula hubungan antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir; atau
-Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung; atau
Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus dan atau ke samping satu derajat.”
Penjelasan :
Hubungan istimewa di antara Wajib Pajak dapat terjadi karena ketergantungan atau keterikatan satu dengan yang lain yang disebabkan karena :
kepemilikan atau penyertaan modal;
adanya penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi
Selain karena hal-hal tersebut di atas, hubungan istimewa di antara Wajib Pajak orang pribadi dapat pula terjadi karena adanya hubungan darah atau karena perkawinan
Pasal 2 ayat 1 Undang-undang No.18 Tahun 2000 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Barang Mewah
Pasal 2 ayat 1 berbunyi :
”Dalam hal Harga Jual atau Penggantian dipengaruhi oleh hubungan istimewa, maka Harga Jual atau Penggantian dihitung atas dasar harga pasar wajar pada saat penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak itu dilakukan.”
Penjelasan :
Pengaruh hubungan istimewa seperti dimaksud dalam Undang-undang ini ialah adanya kemungkinan harga yang ditekan lebih rendah dari harga pasar. Dalam hal ini, Direktur Jenderal Pajak mempunyai kewenangan melakukan penyesuaian Harga Jual atau Penggantian yang menjadi Dasar Pengenaan Pajak dengan harga pasar wajar yang berlaku di pasaran bebas.
Pasal 2 ayat 2 Undang-undang No.18 Tahun 2000 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Barang Mewah
Pasal 2 ayat 2 berbunyi :
”Hubungan istimewa dianggap ada apabila :
Pengusaha mempunyai penyertaan langsung atau tidak langsung sebesar 25% (dua puluh lima persen ) atau lebih pada Pengusaha lain, atau hubungan antara Pengusaha dengan penyertaan 25% ( dua puluh lima persen ) atau lebih pada dua Pengusaha atau lebih, demikian pula hubungan antara dua Pengusaha atau lebih yang disebut terakhir; atau
Pengusaha menguasai Pengusaha lainnya atau dua atau lebih Pengusaha berada di bawah penguasaan Pengusaha yang sama baik langsung maupun tidak langsung atau
Terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat dan/atau ke samping satu derajat.”
Penjelasan :
Hubungan istimewa antara Pengusaha Kena Pajak dengan pihak yang menerima penyerahan Barang Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak dapat terjadi karena ketergantungan atau keterikatan satu dengan yang lain yang disebabkan karena :
faktor kepemilikan atau penyertaan;
adanya penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi
Selain karena hal-hal tersebut di atas, hubungan istimewa di antara orang pribadi dapat pula terjadi karena adanya hubungan darah atau karena perkawinan.
Ketentuan dalam Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda ( P3B )
Sehubungan dengan masalah transfer pricing yang melibatkan banyak negara maka di P3B mengatur tentang hubungan istimewa, yaitu pada Pasal 9 UN Model. Pasal ini mengatur tentang perusahaan-perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa yaitu antara induk perusahaan yang berdomisili di salah satu negara dan anak perusahaan yang berdomisili di negara lainnya.
Pasal 9 UN Model berbunyi :
1. Apabila :
Suatu perusahaan dari satu Negara pihak pada persetujuan, baik secara langsung maupun tidak langsung turut serta dalam manajemen, pengawasan atau modal suatu perusahaan di Negara pihak persetujuan lainnya, atau
Orang atau badan yang sama, baik secara langsung maupun tidak langsung turut serta dalam manajemen, pengawasan atau modal suatu perusahaan dari suatu Negara pihak pada persetujuan dan suatu perusahaan dari Negara pihak pada persetujuan lainnya, dan dalam kedua hal itu antara kedua perusahaan dimaksud dalam hubungan dagangnya atau hubungan keuangannya diadakan atau diterapkan syarat-syarat yang menyimpang dari yang lazim berlaku antara perusahaan-perusahaan yang sama sekali bebas satu sama lain, sehingga laba yang timbul dinikmati oleh salah satu perusahaan yang apabila syarat-syarat itu tidak dapat dinikmati oleh perusahaan tersebut, dapat ditambahkan pada laba perusahaan itu dan dikenai pajak.
Apabila suatu negara pihak pada persetujuan mencakup laba satu perusahaan di Negara itu dan dikenai pajak laba yang telah dikenai pajak di Negara lainnya dan laba tersebut adalah laba yang memang seharusnya diperoleh perusahaan-perusahaan independen, maka Negara lain itu akan melakukan penyesuaian-penyesuaian atas jumlah laba yang dikenai pajak. Penyesuaian-penyesuaian itu harus memperhatikan ketentuan-ketentuan lain dalam persetujuan ini dan apabila dianggap perlu, pejabat-pejabat yang berwenang dari kedua Negara pihak pada persetujuan saling berkonsultasi.
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-04/PJ.7/1993 tanggal 9 Maret 1993 Tentang Petunjuk Penanganan Kasus-Kasus Transfer Pricing
Peraturan ini merupakan petunjuk bagaimana perlakuan perpajakan atas kasus transfer pricing, berisi contoh-contoh transaksi yang melibatkan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa. Transaksi antar pihak tersebut dapat mengakibatkan kekurang wajaran harga, biaya atau imbalan lain yang direalisasikan dalam suatu transaksi usaha. Bentuk kekurang wajaran dapat terjadi atas penentuan :
Harga penjualan
Harga pembelian
Alokasi biaya administrasi dan umum ( overhead cost )
Pembebanan bunga atas pemberian pinjaman oleh pemegang saham ( share holder loan )
Pembayaran komisi, lisensi, franchise, sewa, royalti, imbalan atas jasa manajemen, imbalan atas jasa teknik dan imbalan atas jasa lainnya
Pembelian harta perusahaan oleh pemegang saham ( pemilik ) atau pihak yang mempunyai hubungan istimewa yang lebih rendah dari harga pasar
Penjualan kepada pihak luar negeri melalui pihak ketiga yang kurang/tidak mempunyai substansi usaha ( misalnya dummy company, letter box company atau reinvoicing center
BAB III
PEMBAHASAN
Untuk menangani dan menyelesaikan transaksi transfer pricing yang melibatkan pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa , yang mungkin melibatkan otoritas pajak negara lain serta dalam rangka mengamankan penerimaan negara dari pajak maka otoritas pajak harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
- Mengetahui motivasi perusahaan tersebut melakukan transfer pricing
- Mengidentifikasi adanya rekayasa transfer pricing
- Memperhatikan hal-hal yang berkaitan dengan prinsip arm’s length dalam menangani masalah transfer pricing
- Metode-metode untuk menentukan arm’s length
- Penerapan Advance Pricing Agreement
Menurut Gunadi, pada tahun 1985 telah dilakukan penelitian oleh tim UNTC dari PBB yang diketuai oleh DR.Silvain Plasschaert tentang transfer pricing di Indonesia. Hasil penelitian tersebut menyimpulkan ada beberapa motivasi transfer pricing di Indonesia yaitu :
- pengurangan obyek pajak terutama pajak penghasilan
- pelonggaran pengaruh pembatasan kepemilikan luar negeri
- penurunan pengaruh depresiasi rupiah
- menguatkan tuntutan kenaikan harga atau proteksi terhadap saingan impor
- mempertahankan sikap low profile tanpa mempedulikan tingkat keuntungan usaha
- mengamankan perusahaan dari tuntutan atas imbalan atau kesejahteraan karyawan dan kepedulian lingkungan ( ekologi dan masyarakat )
-memperkecil akibat pembatasan, ketidakpastian atas resiko kegiatan perusahaan luar negeri
Beberapa tujuan/motivasi dari perusahaan nasional dan multi-nasional untuk melakukan transfer price:
Penelitian tersebut membuktikan bahwa praktik transfer pricing dapat dipicu oleh motivasi pajak atau non pajak. Motivasi pajak atas transfer pricing dilakukan dengan merelokasi penghasilannya ( revenues ) ke negara-negara yang menerapkan tarif pajak yang relatif rendah ( low tax countries ) dan sebaliknya membebankan biaya-biaya usahanya lebih besar ke negara-negara yang menerapkan tarif pajak yang relatif tinggi (high tax countries ) sehingga perusahaan tersebut memperoleh penghematan pajak secara global. Perbedaan tarif pajak penghasilan antar negara seperti Indonesia 30%, Singapura 27%, Hongkong 18%, atau bahkan Bahama, Bermuda dan Cayman Islands yang tidak memiliki pajak sama sekali, makin mendorong perusahaan untuk melakukan transfer pricing.
Manipulasi pajak lain yang dilakukan oleh perusahaan multinasional adalah mendirikan vehicle company atau letter box company di negara-negara yang termasuk tax haven countries. Negara seperti Cayman Islands, British Virgin Island dan Mauritius merupakan negara tax haven countries yang memberikan subsidi pajak berupa tarif pajak yang relatif rendah atau bahkan membebaskannya kepada para investor, menyediakan infrastruktur keuangan yang canggih (sophisticated financial infrastructures) dan jaminan kerahasiaan ( secrecy )
Strategi transfer pricing dengan memanfaatkan perbedaaan tarif pajak antar negara yang bertujuan untuk melakukan penghindaran pajak ( tax avoidance ) akan sangat merugikan negara-negara yang termasuk high tax countries karena negara-negara tersebut akan kehilangan potensi penerimaan pajak yang seharusnya diperoleh.
Masalah transfer pricing akan makin parah apabila dimaksudkan untuk melakukan penggelapan pajak ( tax evasion ), untuk itu maka perusahaan multinasional yang melakukan penggelapan pajak dianggap melakukan tindakan kriminal di bidang perpajakan. Dari sisi hukum, penggelapan pajak karena transfer pricing telah menyimpang dari ketentuan perpajakan yang berlaku karena secara substansi negara seharusnya dapat memajaki perusahaan multinasional tersebut dalam jumlah yang lebih besar. Sehingga dengan demikian akan dikenai sanksi pidana perpajakan, untuk Indonesia sesuai dengan Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 diatur dalam Pasal 39 bahwa perbuatan kriminal pajak akan dikenai sanksi pidana penjara paling lama 6 ( enam ) tahun dan denda paling tinggi 4 ( empat ) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar. Perbedaan antara penghindaran pajak dan penggelapan pajak sangat tipis dan dari sisi etika bisnis, praktik transfer pricing dapat menimbulkan moral hazard karena bertentangan dengan ketentuan yang berlaku.
Kesepakatan harga transfer ( Advance Pricing Agreement/APA ) sebagai yang dimaksud dalam Pasal 18 ayat 3A Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah transfer pricing. APA umumnya dimulai dengan permintaan Wajib Pajak kepada otoritas pajak, kemudian Wajib Pajak mempresentasikan cara perhitungan harga biaya dengan memberikan semua data yang berkaitan dengan perhitungan tersebut. Pihak otoritas pajak kemudian melakukan semacam audit untuk memastikan bahwa perhitungan harga biaya tersebut dapat diterima.
APA umumnya berlaku untuk suatu periode tertentu. Keuntungan dari APA selain memberikan kepastian hukum dan kemudahan penghitungan pajak, Fiskus tidak perlu melakukan koreksi atas harga jual dan keuntungan produk yang dijual Wajib Pajak kepada perusahaan dalam grup yang sama. Sehingga fiskus tidak perlu lagi melakukan penelitian apakah transaksi yang dipengaruhi hubungan istimewa sudah arm’s length atau belum.
Pasal 18 ayat 3 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 Tentang Pajak Penghasilan memberikan kewenangan kepada otoritas pajak Indonesia dalam hal ini Direktur Jenderal Pajak untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal. Penghitungan kembali ini hanya bertujuan menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak. Jumlah yang dihitung atau jumlah yang dikurangi harus sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa, sehingga dalam melakukan penghitungan kembali tidak dapat dilakukan secara sembarangan. Jadi sesuai dengan Pasal 18 ayat 3 maka penghitungan kembali hanya dapat dilakukan apabila terdapat hubungan istimewa antara pihak-pihak yang melakukan transaksi dan harga atas transaksi tersebut tidak sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha.
Sedangkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-04/PJ.7/1993 tanggal 9 Maret 1993 berisi panduan bagi aparat pajak untuk menangani transaksi transfer pricing atau yang mengandung indikasi adanya transfer pricing dan bagaimana perlakuan perpajakannya. Surat edaran ini memuat berbagai bentuk kekurang wajaran harga, biaya atau imbalan lain yang direalisasikan dalam suatu transaksi usaha.
BAB 4
KESIMPULAN
Transaksi transfer pricing adalah transaksi yang terjadi antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa, sehingga harga yang terjadi tidak bersifat arm’s length.
Implementasi transfer pricing cenderung dilakukan oleh perusahaan multinasional dengan tujuan untuk penghindaran pajak.
Implikasi pajak yang signifikan dari transaksi transfer pricing adalah berkurangnya atau hilangnya potensi penerimaan pajak yang seharusnya diperoleh.
Peraturan perpajakan
Kesepakatan harga transfer ( Advance Pricing Agreement ) mempunyai peranan penting dalam penyelesaian kasus transfer pricing dan yang lebih penting lagi dapat memberikan kepastian hukum kepada para Wajib Pajak
Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda ( P3B ) dapat menyelesaikan masalah transaksi transfer pricing antara negara yang terikat perjanjian P3B dengan correlative adjustment.